Budaya Indonesia
Menurut Subani KCD :
PERKEMBANGAN seni dan budaya di Indonesia membutuhkan ruang
gerak yang lebih jelas. Tentunya untuk mempertahankan eksistensi karya adi
luhung rakyat Indonesia di dunia Internasional. Justru yang memprihatinkan
banyak karya seni dan budaya bangsa Indonesia terlahir belum menjadi tuan rumah
di negeri sendiri, akibatnya terjadi simpang-siur informasi.
Pertanyaan dilontarkan
sebagian pekerja seni saat berdiskusi di Yogyakarta pekan lalu oleh kelompok
‘Paguyuban Seni Ngayogyakarta Hadiningrat menyambut Tahun Baru 2013’ di Yogyakarta.
Mereka memperbincangkan iklim ekonomi para pekerja seni ‘seperti lampu
petromaks, kalau mau dinyalakan harus dipompa dulu.
Titik persoalannya pada saat ini,
perkembanganya sangat riskan. Ruang dan gerak buat kiprah para pekerja seni
tidak lagi terbuka cukup luas. Sehingga tumbuh-kembang para pekerja seni tidak
lagi deras. Para pekerja seni, untuk mengekpresikan karyanya tidak gampang,
dimana para sponsor tanpa dihubungi untuk datang menawarkan diri meminta
pekerja seni untuk membuat karyanya, dipanggungkan, dipamerkan, saat ini sudah
sangatlah sulit.
Tampaknya, situasi
ekonomi global yang telah memproklamirkan diri, menyingkirkan para pekerja seni
yang masih konvensional. Malah, tidak ada yang melirik
lagi. Akibatnya, produksi yang menumpuk tinggal mengenangnya. Kemudian para
pekerja seni disentak munculnya kelompok yang mengklaim karya para pekerja seni
di Indonesia sebagai miliknya. Kalau sudah begini, salah siapa,
pekerja senikah atau pemerintah Indonesia yang terkesan masa bodoh dengan
kehidupan para pekerja seni.
Pekerja seni sudah
membuka ‘pancawarna’ kehidupan untuk menuangkan dan mengekspresikan karakter,
aura, dan nuansa pola pikir yang ‘mengejawantah’ tentang dunia pengetahuan seni
dan budaya. Tanpa canggung karya pekerja seni bertebaran dan melahirkan gagasan
baru di dunianya dengan enjoy.
Sayangnya, dunia ekonomi
global sudah “menggilas” para pekerja seni agar mencari solusi yang lebih
jelas. Justru yang lebih mengenaskan, para pekerja seni
harus menghadapi kanibalisme ekonomi yang kapitalis. Padahal, para pekerja seni
memiliki tanggung jawab moral terhadap bangsa Indonesia.
Sebaiknya pemerintah
segera turun tangan dan membenahi tatanan budaya di negeri ini yang tampaknya
lambat-laun menjurus ke zaman ‘barbar’. Antarindividu sudah tidak mengenal,
serta tatanan sosial, kemanusiaan digeser dan perilaku sudah tidak mengenal
budaya yang lebih santun dan satu sama yang lainya berlomba menjatuhkan.
Ditambah situasi saat
ini, tatanan budaya antarkelompok, kampung, kota, desa lebih mengandalkan ‘adu
jotos’ dibandingkan mencari solusi damai membangun negeri ini. Jika tatanan budaya bangsa Indonesia tidak segera ditata dengan
baik, kita akan dihadapkan pada yang mengutamakan hukum rimba, dibandingkan
perlu pembuktikan konkret dan ilmiah. Tentunya, ini mengundang keprihatinan
seniman Yogya.
Komentar
Posting Komentar